Kerendahan Hati.
Selama Manusia Masih Menganggap Dirinya Paling Segalanya dan
Suka Merendahkan Orang Lain. Maka Sesunguhnya Ia Lagi Menjatuhkan Harkat dan
Martabat Dirinya dihadapan Manusia dan dihadapan Allah Swt.
“Muhaji Said Al-Muhajirin’
Dalam salah satu hadis, Rasulullah saw sangat
manganjurkan kepada umatnya untuk bersikap rendah hati dan melarang berlaku
sombong. Beliau bersabda:
عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ
تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى
أَحَدٍ
Artinya:
Dari Iyadh bin Himar ia berkata, "Rasulullah saw
bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, hendaklah kalian
bersikap rendah hati, hingga seseorang tidak berbuat aniaya kepada orang lain,
dan seseorang tidak berlaku sombong kepada orang lain. (HR. Abu Daud)
Sahabatku.
Sesungguhnya orang shaleh bisa kita lihat dari
sifat kerendahan hati yang ia miliki. Orang tidak bisa disebut shaleh jika ia
merasa diri paling benar. Jika ia merasa diri paling baik. Jika ia merasa diri
paling pintar. Merasa diri tidak punya dosa dan kesalahan atau bahkan masih
merasa diri paling banyak memiliki amal kebaikan dan pahala.
Akan tetapi sesungguhnya manusia yang shaleh
adalah manusia yang selalu merasa dirinya dipenuhi oleh dosa sehingga ia terus-menerus
berusaha menata dirinya untuk melakukan kebaikan. Hari-harinya ia penuhi dengan
amalan-amalan kebajikan. Lisannya ia jaga dari perkataan yang kotor. Kaki dan
tangannya ia jaga dari berjalan dan mengambil hak orang lain. Bahkan orang yang
shaleh selalu bersikap tawaddu dan rendah hati terhadap setiap orang.
Tapi sayangnya kebanyakan dari kita. Tidak
memiliki sikap dan sifat seperti yang di atas. Tetapi sebaliknya sebagian besar
manusia malah dipenuhi dengan penyakit-penyakit hati seperti sombong, congkak,
tamak, ghibah, fitnah, dan suka menjelek-jelekkan orang lain lalu merasa diri
paling baik dan shaleh. Orang baik itu jujur tidak bohong.
Orang shaleh itu tidak sombong tapi tawaddu.
Belajarlah dari filosofi buah padi. Semakin ia berisi maka semakin merunduk.
Itulah sifat yang harus ditanamkan pada diri manusia. Jika ia semakin tinggi
keilmuannya, semakin besar kekuasaannya dan semakin hebat orangnya. Maka seharusnya
ia semakin tawaddu dihadapan Allah swt dan tidak sombong dihadapan manusia.
Penulis sangat tertarik, dengan sebuah kisah
yang di tulis oleh Abdush Shobur dan Haifa Zahra Anggawie dalam bukunya yang
berjudul sungguh Allah sangat merindukan kita. Kisah tersebut beliau
kutib dari buku Madrasah Ruhaniah karya Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat.
Sesungguhnya dalam buku tersebut dikisahkan bahwa.
Pada suatu hari para sahabat lagi
memperbincangkan rekannya yang sangat shaleh. Padahal saat itu Rasulullah bersama
mereka. Akan tetapi Rasulullah saw hanya diam dan tidak berkomentar atas
sesuatu yang diperbincangkan oleh sahabat-sahabat tersebut mengenai rekannya
yang sangat shaleh. Padahal kita ketahui bahwa Rasulullah saw sangat senang
memuji kebaikan seseorang walaupun sangat kecil. Tetapi saat itu beliau hanya
terdiam tanpa berkomentar sedikitpun.
Dalam perbincangan tersebut tiba-tiba orang
yang lagi diperbincangkan itu kemudian muncul dihadapan mereka. Lalu kemudian
para sahabat berkata kepada Rasulullah saw inilah dia orang yang kami maksud
wahai kekasih Allah. Sambil menunjukkannya kepada Rasulullah. Namun saat itu Rasulullah
saw hanya berkata kepada para sahabat “Aku melihat ada bekas usapan syetan
diwajahnya”.
Orang tersebut lalu masuk dalam majlis Rasulullah
sambil memberi salam. Setelah orang tersebut duduk kemudian beliau saw
mendekatinya dan bertanya, “Apakah setiap kamu masuk dalam kumpulan orang, maka
merasa bahwa kamulah yang paling baik diantara mereka?” orang tersebutpun
menjawab benar wahai Rasulullah, saya adalah orang yang paling baik diantara
yang lain.
Sehingga tidak lama kemudian, orang tersebut
bangkit dan pergi untuk shalat. Saat itu Rasulullah saw berkata dan bertanya
kepada para sahabatnya, “Siapa diantara kalian yang berani membunuh orang
itu?”. Kemudian Abu bakar menyatakan kesediannya, saya wahai Rasulullah. Abu
bakarpun mendekati orang tersebut, namun iapun kembali dengan tangan kosong.
Lalu berkata kepada Rasulullah, “Bagaimana mungkin
saya harus membunuhnya. Ia sedang shalat dan sangat khusu’ dalam rukuknya. Abu
bakar tidak tega membunuhnya. Akan tetapi tidak lama kemudian bangkitlah Umar
Bin Khattab, setelah ia mendengar pertanyaan Rasulullah untuk kedua kalinya
mengenai orang tersebut. Siapa yang berani untuk membunuhnya.
Lalu kemudian dengan tegas umar bin khattab
berkata saya wahai Rasulullah. Namun apa yang terjadi. Umar pun tidak sanggup
untuk membunuh orang tersebut. Beliau melihat orang itu masih dalam keadaan
shalat. Khusu’ dalam sujudnya. Umar bin khattab yang terkenal bringas, tegas,
tidak takut terhadap siapapun bahkan mendapat gelar singa padang pasir. Namun
iapun tidak sanggup membunuh orang tersebut yang masih dalam keadaan shalat.
Lalu iapun kembali kepada Rasulullah saw dengan tangan kosong.
Rasulullah pun kemudian berkata lagi untuk
terakhir kalinya, “Siapa diantara kalian yang berani untuk membunuhnya?”.
Akhirnya tampillah saydina Ali bin Abi thalib dengan menghunus pedangnya. “Saya
wahai Rasulullah, saya siap untuk membunuh orang itu”. Ali bin Abi Thalib yang
pada saat itu dalam keadaan siap dan ia berniat untuk membunuh orang tersebut
dalam keadaan bagaimanapun.
Ia bertekad menghilangkan nyawa orang itu
dalam keadaaan apapun juga. Akan tetapi ia pun kembali seperti sahabat lainnya.
Pedangnya masih dalam keadaan bersih tiada noda darah sebagai tanda membunuh
seseorang. Beliau berkata kepada Rasulullah saw bahwa orang tersebut sudah
tidak ada di tempatnya. Ia pergi entah kemana. Lalu pada saat itu Rasulullah berkata
“Jika kalian membunuh orang tersebut, umatku tidak akan terpecah setelah ini[1]”.
Menurut Jalaluddin Rahmat, kisah di atas
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya. Kisah ini lebih merupakan parabel
ketimbang dipahami dalam makna harfiahnya. Hadis ini tidak mengajarkan kepada
kita untuk membunuh orang yang shalat. Tetapi Nabi mengajarkan agar kita tidak
mudah terpesona dengan tontonan keshalehan seseorang.
Bisa saja sahabat menilai rekannya tersebut
adalah orang yang shaleh akan tetapi menurut Nabi bukanlah demikian. Rasulullah
saw lebih tahu keadaan hati seseorang melalui tuntunan wahyu dari Allah swt.
Terbukti ketika orang itu di lihat oleh beliau. Nabi mengatakan “saya melihat
diwajah orang tersebut ada usapan syetan”. Terbukti ketika Rasulullah bertanya
kepada orang tersebut tentang dirinya bagaimana jika ia berada dalam kelompok
orang banyak, apakah anda merasa paling baik. Orang tersebut berkata benar.
Ketahuilah orang tidak bisa dikatakan shaleh
jika menganggap dirinya paling baik diantara yang lain. Tidak di katakan
beriman jika masih didalam hatinya ia mengganggap bahwa dirinya paling beriman.
Menganggap yang lainnya rendah, tidak shaleh, dan tidak punya kebaikan.
Pandangannya picik seakan-akan dirinyalah yang paling sempurna diantara
manusia-manusia yang ada.
Untuk menjadi orang shaleh dan mulia dihadapan
Allah swt harus di hadirkan rasa kerendahan hati dalam setiap perbuatan kita.
Jika sikap ketawadduan tidak kita miliki. Maka manusia belum di katakan shaleh
dan baik. Hati- hatilah jika anda masih menganggap diri paling segalanya. Itu
menandakan diri anda masih rendah dan hina dihadapan Allah swt.
Olehnya itu jangan pernah sekali-kali
menganggap diri paling mulia, sedang orang lain hina. Bisa saja orang yang kita
anggap hari ini adalah orang yang hina, suatu hari nanti menjadi manusia yang sangat
mulia. Jangan suka memfonis seseorang itu hina, buruk, jelak dan lainnya. Karena
sesungguhnya bisa jadi ia lebih mulia daripada kita.
Ketika manusia menganggap dirinya paling baik
maka sesungguhnya ia adalah orang yang hina dalam pandangan Allah swt.
Keshalehan seseorang tidak cukup dengan hanya pakaian gamis, songkok, kudung tanpa
memperbaiki hati dari segala penyakit yang dapat menodainya. Selama sifat ujub,
iri, takabbur dan penyakit hati lainnya kita miliki, maka kita belum tergolong
orang yang shaleh. Karena sesungguhnya kesucian dan kerendahan hati seseorang
adalah faktor utama yang menunjukkan keshalehan dirinya.
[1]Abdush Shobur dan Haifa Zahra Anggawie, Sungguh Allah Sangat Merindukan Kita, (Cet. II; Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2015), h. 171
Tidak ada komentar:
Posting Komentar