Kamis, 10 Maret 2016

Orang Sombong Panta'nya Item.

Kerendahan Hati.
Selama Manusia Masih Menganggap Dirinya Paling Segalanya dan Suka Merendahkan Orang Lain. Maka Sesunguhnya Ia Lagi Menjatuhkan Harkat dan Martabat Dirinya dihadapan Manusia dan dihadapan Allah Swt.
“Muhaji Said Al-Muhajirin’

Dalam salah satu hadis, Rasulullah saw sangat manganjurkan kepada umatnya untuk bersikap rendah hati dan melarang berlaku sombong. Beliau bersabda:
عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
Artinya:
Dari Iyadh bin Himar ia berkata, "Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, hendaklah kalian bersikap rendah hati, hingga seseorang tidak berbuat aniaya kepada orang lain, dan seseorang tidak berlaku sombong kepada orang lain. (HR. Abu Daud)


Sahabatku.

Sesungguhnya orang shaleh bisa kita lihat dari sifat kerendahan hati yang ia miliki. Orang tidak bisa disebut shaleh jika ia merasa diri paling benar. Jika ia merasa diri paling baik. Jika ia merasa diri paling pintar. Merasa diri tidak punya dosa dan kesalahan atau bahkan masih merasa diri paling banyak memiliki amal kebaikan dan pahala.
Akan tetapi sesungguhnya manusia yang shaleh adalah manusia yang selalu merasa dirinya dipenuhi oleh dosa sehingga ia terus-menerus berusaha menata dirinya untuk melakukan kebaikan. Hari-harinya ia penuhi dengan amalan-amalan kebajikan. Lisannya ia jaga dari perkataan yang kotor. Kaki dan tangannya ia jaga dari berjalan dan mengambil hak orang lain. Bahkan orang yang shaleh selalu bersikap tawaddu dan rendah hati terhadap setiap orang.
Tapi sayangnya kebanyakan dari kita. Tidak memiliki sikap dan sifat seperti yang di atas. Tetapi sebaliknya sebagian besar manusia malah dipenuhi dengan penyakit-penyakit hati seperti sombong, congkak, tamak, ghibah, fitnah, dan suka menjelek-jelekkan orang lain lalu merasa diri paling baik dan shaleh. Orang baik itu jujur tidak bohong.
Orang shaleh itu tidak sombong tapi tawaddu. Belajarlah dari filosofi buah padi. Semakin ia berisi maka semakin merunduk. Itulah sifat yang harus ditanamkan pada diri manusia. Jika ia semakin tinggi keilmuannya, semakin besar kekuasaannya dan semakin hebat orangnya. Maka seharusnya ia semakin tawaddu dihadapan Allah swt dan tidak sombong dihadapan manusia.
Penulis sangat tertarik, dengan sebuah kisah yang di tulis oleh Abdush Shobur dan Haifa Zahra Anggawie dalam bukunya yang berjudul sungguh Allah sangat merindukan kita. Kisah tersebut beliau kutib dari buku Madrasah Ruhaniah karya Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat. Sesungguhnya dalam buku tersebut dikisahkan bahwa.
Pada suatu hari para sahabat lagi memperbincangkan rekannya yang sangat shaleh. Padahal saat itu Rasulullah bersama mereka. Akan tetapi Rasulullah saw hanya diam dan tidak berkomentar atas sesuatu yang diperbincangkan oleh sahabat-sahabat tersebut mengenai rekannya yang sangat shaleh. Padahal kita ketahui bahwa Rasulullah saw sangat senang memuji kebaikan seseorang walaupun sangat kecil. Tetapi saat itu beliau hanya terdiam tanpa berkomentar sedikitpun.
Dalam perbincangan tersebut tiba-tiba orang yang lagi diperbincangkan itu kemudian muncul dihadapan mereka. Lalu kemudian para sahabat berkata kepada Rasulullah saw inilah dia orang yang kami maksud wahai kekasih Allah. Sambil menunjukkannya kepada Rasulullah. Namun saat itu Rasulullah saw hanya berkata kepada para sahabat “Aku melihat ada bekas usapan syetan diwajahnya”.
Orang tersebut lalu masuk dalam majlis Rasulullah sambil memberi salam. Setelah orang tersebut duduk kemudian beliau saw mendekatinya dan bertanya, “Apakah setiap kamu masuk dalam kumpulan orang, maka merasa bahwa kamulah yang paling baik diantara mereka?” orang tersebutpun menjawab benar wahai Rasulullah, saya adalah orang yang paling baik diantara yang lain.
Sehingga tidak lama kemudian, orang tersebut bangkit dan pergi untuk shalat. Saat itu Rasulullah saw berkata dan bertanya kepada para sahabatnya, “Siapa diantara kalian yang berani membunuh orang itu?”. Kemudian Abu bakar menyatakan kesediannya, saya wahai Rasulullah. Abu bakarpun mendekati orang tersebut, namun iapun kembali dengan tangan kosong.
Lalu berkata kepada Rasulullah, “Bagaimana mungkin saya harus membunuhnya. Ia sedang shalat dan sangat khusu’ dalam rukuknya. Abu bakar tidak tega membunuhnya. Akan tetapi tidak lama kemudian bangkitlah Umar Bin Khattab, setelah ia mendengar pertanyaan Rasulullah untuk kedua kalinya mengenai orang tersebut. Siapa yang berani untuk membunuhnya.
Lalu kemudian dengan tegas umar bin khattab berkata saya wahai Rasulullah. Namun apa yang terjadi. Umar pun tidak sanggup untuk membunuh orang tersebut. Beliau melihat orang itu masih dalam keadaan shalat. Khusu’ dalam sujudnya. Umar bin khattab yang terkenal bringas, tegas, tidak takut terhadap siapapun bahkan mendapat gelar singa padang pasir. Namun iapun tidak sanggup membunuh orang tersebut yang masih dalam keadaan shalat. Lalu iapun kembali kepada Rasulullah saw dengan tangan kosong.
Rasulullah pun kemudian berkata lagi untuk terakhir kalinya, “Siapa diantara kalian yang berani untuk membunuhnya?”. Akhirnya tampillah saydina Ali bin Abi thalib dengan menghunus pedangnya. “Saya wahai Rasulullah, saya siap untuk membunuh orang itu”. Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu dalam keadaan siap dan ia berniat untuk membunuh orang tersebut dalam keadaan bagaimanapun.
Ia bertekad menghilangkan nyawa orang itu dalam keadaaan apapun juga. Akan tetapi ia pun kembali seperti sahabat lainnya. Pedangnya masih dalam keadaan bersih tiada noda darah sebagai tanda membunuh seseorang. Beliau berkata kepada Rasulullah saw bahwa orang tersebut sudah tidak ada di tempatnya. Ia pergi entah kemana. Lalu pada saat itu Rasulullah berkata “Jika kalian membunuh orang tersebut, umatku tidak akan terpecah setelah ini[1]”.
Menurut Jalaluddin Rahmat, kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya. Kisah ini lebih merupakan parabel ketimbang dipahami dalam makna harfiahnya. Hadis ini tidak mengajarkan kepada kita untuk membunuh orang yang shalat. Tetapi Nabi mengajarkan agar kita tidak mudah terpesona dengan tontonan keshalehan seseorang.
Bisa saja sahabat menilai rekannya tersebut adalah orang yang shaleh akan tetapi menurut Nabi bukanlah demikian. Rasulullah saw lebih tahu keadaan hati seseorang melalui tuntunan wahyu dari Allah swt. Terbukti ketika orang itu di lihat oleh beliau. Nabi mengatakan “saya melihat diwajah orang tersebut ada usapan syetan”. Terbukti ketika Rasulullah bertanya kepada orang tersebut tentang dirinya bagaimana jika ia berada dalam kelompok orang banyak, apakah anda merasa paling baik. Orang tersebut berkata benar.
Ketahuilah orang tidak bisa dikatakan shaleh jika menganggap dirinya paling baik diantara yang lain. Tidak di katakan beriman jika masih didalam hatinya ia mengganggap bahwa dirinya paling beriman. Menganggap yang lainnya rendah, tidak shaleh, dan tidak punya kebaikan. Pandangannya picik seakan-akan dirinyalah yang paling sempurna diantara manusia-manusia yang ada.
Untuk menjadi orang shaleh dan mulia dihadapan Allah swt harus di hadirkan rasa kerendahan hati dalam setiap perbuatan kita. Jika sikap ketawadduan tidak kita miliki. Maka manusia belum di katakan shaleh dan baik. Hati- hatilah jika anda masih menganggap diri paling segalanya. Itu menandakan diri anda masih rendah dan hina dihadapan Allah swt.
Olehnya itu jangan pernah sekali-kali menganggap diri paling mulia, sedang orang lain hina. Bisa saja orang yang kita anggap hari ini adalah orang yang hina, suatu hari nanti menjadi manusia yang sangat mulia. Jangan suka memfonis seseorang itu hina, buruk, jelak dan lainnya. Karena sesungguhnya bisa jadi ia lebih mulia daripada kita.
Ketika manusia menganggap dirinya paling baik maka sesungguhnya ia adalah orang yang hina dalam pandangan Allah swt. Keshalehan seseorang tidak cukup dengan hanya pakaian gamis, songkok, kudung tanpa memperbaiki hati dari segala penyakit yang dapat menodainya. Selama sifat ujub, iri, takabbur dan penyakit hati lainnya kita miliki, maka kita belum tergolong orang yang shaleh. Karena sesungguhnya kesucian dan kerendahan hati seseorang adalah faktor utama yang menunjukkan keshalehan dirinya.



[1]Abdush Shobur dan Haifa Zahra Anggawie, Sungguh Allah Sangat Merindukan Kita, (Cet. II; Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015), h. 171

Tidak ada komentar:

Posting Komentar